RUU Pemilu Harus Junjung Tinggi Azas Pro Porsionalitas

TOPMETRO.NEWS – Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilu yang saat ini masih dalam pembahasan di DPR RI cukup menyita perhatian serius dan sangat dinanti seluruh kalangan, sehingga muncul sejumlah tuntutan yang berharap undang-undang pemilu yang akan dilahirkan itu mampu menjunjung tinggi azas pro porsionalitas.

“Kita berharap sistem apapun yang akan diterapkan , agar tetap menjunjung tinggi azas pro porsionalitas,” kata Sekretaris DPD PDIP Sumut Soetarto dalam dialog terbuka mengenai metode penghitungan suara dan kursi pada RUU Pemilu 2019, di café potret Medan yang juga dihadiri Benget Silitonga dari KPU Sumut dan Aulia Andri dari Bawaslu Sumut dan Anwar Saragih mewakili partai baru yakni PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Sumut, Rabu (24/5).

Hal itu ditegaskannya, karena, ungkap politisi PDIP ini, bahwa Pemilu dikaitkan dengan tehnisnya karena ini bentuk dari implementasi  kedaulatan rakyat yang sepenuhnya diharapkan melalui sistem pemilu yang saat ini sedang dibahas di DPR RI.

Lanjutnya, terkait penghitungan suara dan kursi pada RUU Pemilu saat ini, dikatakannya bahwa setiap partai politik (parpol) memiliki mekanisme nya dalam rangka menetapkan para calon anggota legislatifnya

“Pastinya kita menginginkan kader, tokoh dan figur kita yang punya kapasitas dan integritas, ini bisa mendorong elektabilitas  baik pribadi mauun elaktabilitas parpol itu. Jadi tentu saja sistem  apapu itu nanti akan ada plus minusnya,” sebutnya.

Sebaliknya Anwar Saragih (Sekretaris PSI Sumut) membawa misi partainya yang mendorong secara tegas terhadap penetapan 30 persen  keterwakilan perempuan di parlemen”Semangat itu tak kunjung sampai, karena pertaruhan perempuan dan laki-laki  dalam panggung yang sama itu ga adil,”sebutnya.

Aulia Andri mewakili Bawalu Sumut menekankan bahwa untuk pemilihan legislatif (Pileg) pihaknya telah  memiliki pengalaman pada penyelenggaraan Pileg tahun 2014 lalu. Jadi, berbicara sistem metode peghitungan suara dan kursi ini, ada dua hal yang dinilai krusial yakni daerah pemilihan dan saat penghitungan kursi.

“Tapi dalam kondisi sekarang ini UU Pemilu yang molor, kami sangat tersandera dengan lambannya proses pembahasan RUU saat ini di DPR RI,” ucapnya.

Sementara, Benget Silitonga menyampaikan, bila mengacu pada metode lama maka membagi suara yang diraih parpol dengan bilangan pembagi pemilih (BPP) didaerah pemilihan. Sedangkan metode baru adalah sistem lama serta sistem penghitungan dan pembagian kursi yang mengacu kepada pembagiandengan variabel konstan, dengan metode yang disebut ‘Saint League’ berupa pembagian secara devisor dengan membuat bilangan konstan 1,4,3,5 dan 7.

Artinya, terang Benget, semua suara partai yang diraih dalam pemilu tersebut akan dibagi dengan semua bilangan konstan yang bersifat baku tersebut. Kemudian hasilnya diperingkatkan sesuai jumlah kursi yang diperebutkan dalam daerah pemilihannya untuk menentapkan parpol yang akan meraih kursi.

Hasilnya, bukan suara terbanyak, namun peringkat terbanyak dengan empat pembagian sesuai metode konstan tersebut.  Setelah mendapatkan peringkat parpol yang meraih kursi, baru dihitung caleg yang berhak memperoleh kursi legislatif. Penentuan caleg yang mendapatkan kursi itu menggunakan dua model yakni cara yang lama dengan BPP dan kedua yang menggunakan dua varian yakni terbuka terbatas dan suara terbanyak.

Dengan metode terbuka terbatas, jelasnya, kursi legislatif diberikan sesuai nomor urut jika suara parpol secara horizontal lebih besar dari suara masing-masing caleg. Sedangkan untuk suara terbanyak, kursi legislatif  diberikan bagi caleg yang peraih suaranya lebih banyak dari suara parpol secara horixontal

Hadir juga dalam acara tersebut Sekretaris DPW Perindo Sumut, Sekretaris Gerindra Sumut dan juga dari perwakilan Hanura dan Nasdem Sumut.(TM/11).

Related posts

Leave a Comment