Daya Rusak Pola Post Truth Sangat Besar

pola post truth

topmetro.news – Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan pola-pola post truth sekarang sering digunakan untuk meraih kekuasaan. Fenomena ini, kata Yunarto, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga negara-negara lain.

“Polanya sederhana, menggeser para pemilih rasional menjadi pemilih emosional dan irasional,” ujar Yunarto di Jakarta, Sabtu (27/4/2019).

Salah satu caranya, kata Yunarto, menciptakan hoax, fitnah dan ujaran kebencian. Sehingga bisa mempengaruhi pemilih yang tadinya rasional menjadi irasional atau emosional. Medium utama yang digunakan adalah media sosial.

“Era media sosial memang membuat segala menjadi cepat beredar dan dijangkau oleh semua orang meskipun tanpa ada klarifikasi dan bukti terkait hoax, fitnah dan ujaran kebencian,” tandas dia.

Dalam konteks Pemilu Indonesia, munurut Yunarto, pola-pola post truth ini sudah diciptakan jauh-jauh hari sebelum pemilu. Misalnya, membangun ketidakpercayaan pada pemerintah dengan hoax. Tidak percaya pada survei. Keberhasilan dan prestasi pemerintah dinafikan. Serta membangun framing terkait pemimpin asing dan aseng.

“Pola ini juga tetap digunakan pada saat pemilu berlangsung dan sesudah pemilu berlangsung. Contohnya, tidak percaya pada quick count dan real count KPU terkait hasil pemilu dan mem-framing bahwa KPU melakukan kecurangan. Bahkan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif,” jelas dia.

BACA | Yang Bilang KPU Curang Adalah Penyebar Hoax

Pola Post Truth dan Perpecahan

Yunarto mengingatkan daya rusak dari post truth sangat besar. Pertama, kata dia, tingkat penerimaan sebagian masyarakat terhadap proses dan hasil pemilu termasuk pasangan calon terpilih akan rendah. Dengan pola post truth, kata dia, legitimasi paslon yang terpilih digerus di awal pemerintahannya.

“Kedua, yang paling berbahaya adalah menciptakan bibit-bibit perpecahan. Kalau di kalangan elite, mungkin tidak butuh waktu lama untuk melakukan kompromi dan cepat selesai apalagi kalau bargaining politiknya sudah dapat. Namun, di kalangan masyarakat, kompromi tersebut tidak mudah dicapai, tetap akan meninggalkan luka yang mudah tersulut. Jadi, dampak pola post truth itu yang menjadi tantangan kita,” terang dia.

Menurut Yunarto, salah satu cara untuk mencegah pola-pola post truth ini adalah penegakan hukum yang konsisten dan adil. Dia menilai pelaku pembuat dan penyebar hoax, fitnah dan ujaran kebencian harus ditindak tegas secara hukum.

“Hoax, fitnah, ujaran kebencian dan politisasi SARA harus hitam-putih, jangan kompromi. Siapa yang terbukti melakukan, harus ditindak dan jangan dibiarkan karena pertimbangan politis atau stabilitas karena daya rusaknya tinggi,” ungkap dia.

Selain itu, lanjut Yunarto, perlu kesadaran para elite politik untuk tidak menggunakan post truth dalam meraih kekuasaan. Jika mau bertarung di pemilu, maka harus mempersiapkan diri dengan baik sehingga ketika kontestasi, yang dijual adalah rekam jejak, prestasi, ide dan program-program.

“Jadi, pola-pola post truth ini dipakai karena secara rasional, orang menyadari bahwa dirinya tidak mempunyai kekuatan lagi untuk meraih kemenangan dalam suatu kontestasi. Karena itu, persiapkan diri dengan baik jika mau menjadi pemimpin,” pungkas dia.

sumber | beritasatu.com

Related posts

Leave a Comment