Ada Apa di Balik Gagasan Wisata Halal di Danau Toba?

konsep wisata halal

topmetro.news – Penolakan konsep wisata halal di Danau Toba, terus bergulir. Salah satunya dari pemerhati pariwisata di Sumut, yang juga North Sumatera Tourism Board, Raya Timbul Manurung MSc, yang mempertanyakan, ada apa di balik gagasan wisata halal di Danau Toba.

Menurut Raya Timbul, sama sekali tidak ada korelasi antara konsep wisata halal dengan perkembangan destinasi pariwisata, khususnya dari sudut jumlah wisman. “Saat ini muncul kontroversi istilah wisata halal dan non-halal yang dimulai dari ucapan seorang pejabat pemerintahan di Indonesia. Di antaranya Menteri Pariwisata Indonesia dan Gubernur Sumatera Utara,” katanya kepada topmetro.news, Selasa (3/9/2019).

“Target pengembangan kawasan wisata di satu daerah adalah, banyaknya turis asing dan domestik yang datang mengunjungi kawasan tersebut.

Para pejabat di atas merasa, bahwa banyaknya kedatangan turis di suatu wilayah adalah tergantung kepada label halal dari daerah tersebut.

Mereka sepertinya mengharapkan, turis asing Muslim dari Negara Muslim (Timur Tengah, Malaysia, Turki, Pakistan, dan lainnya), serta turis domestik Indonesia yang mayoritas Muslim akan berbondong-bondong datang,” urainya lagi.

Pariwisata di Bali

Namun, kata dia, benar kah label halal akan menambah jumlah turis asing, termasuk yang berasal dari kawasan Negara Muslim? “Bisa kita lihat data turis yang masuk ke Indonesian dari tahun 1980 sampai 2019,” katanya.

Dia lalu mencontohkan Bali, yang sudah menjadikan pariwisata sebagai industri dan tanpa label halal. “Bali dikunjungi turis domestik dan turis asing. Orang Indonesia yang Muslim dari dulu sudah sudah senang ke Bali. Turis Timur Tengah termasuk Raja Salman dan Malaysia juga sudah banyak ke Bali. Itu artinya, pariwisata Bali maju tanpa ada label halal,” tandasnya.

BACA JUGA | Gubernur Sumut Edy Rahmayadi Diminta Fokus Saja Menutup Kerambah

Faktor Penerbangan

Sementara untuk Sumut, Raya Timbul melihat, menurunnya jumlah turis asing, lebih pada persoalan penerbangan. “Untuk Danau Toba dan Sumut, pada tahun 1990, turis asing yang langsung ke Sumut ada 500 ribu orang. Pada saat itu ada ‘direct flight’ Lufthansa Jerman-Medan dan KLM Belanda-Medan 1 x per hari. Juga ada Garuda Medan-Belanda, Medan-Frankfurt 1 x tiap hari. Serta Garuda Medan-London dan Medan-Viena 3 x seminggu,” paparnya.

Ternyata kemudian, pada tahun 1995, Pemerintah Indonesia melarang pesawat maskapai asing transit di Medan. Hanya boleh ke Jakarta dan Denpasar. Akhirnya jumlah wisatawan Eropa ke Sumut pun jatuh dan direbut Malaysia dan Thailand.

“Untung ada IMTGT (Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle) yang berhasil membatalkan ‘exit tax’. Lalu bebasnya pesawat asing Malaysia ke Medan, membuat turis Malaysia banyak ke Danau Toba,” katanya.

Tetapi saat ini, sambung Raya Timbul, turis Malaysia sudah cenderung lebih banyak ke Bandung dan Yogya sesudah ada ‘direct flight’ rute Malaysia-Bandung dan Malaysia-Yogya. “Artinya, faktor rute penerbangan ini yang mestinya jadi perhatian gubernur. Bukan malah membuat gagasan yang sama sekali tak ada hubungan dengan pariwisata,” katanya.

Lantas, kalau masih dikaitkan dengan wisata halal, Raya Timbul mempertanyakan, bagaimana dengan kunjungan turis ke Aceh dan Sumatera Barat? “Apakah saat ini sudah mengalahkan Bali dari sudut banyaknya kunjungan turis dari Negara Muslim dan turis domestik yang mayoritas Muslim? Untuk ini, bisa kita bisa cek dengan melihat jumlah penerbangan asing dan domestik yang datang ke bandara di Aceh dan Sumatera Barat. Apakah sudah mengalahkan Bali atau bagaimana,” katanya.

Pariwisata Dunia

Selanjutnya, Raya Timbul mengajak untuk melihat kondisi pariwisata dunia. Ternyata, data turis asing yang paling banyak masuk ke Thailand adalah dari Malaysia. Umumnya mayoritas Muslim.  Demikian juga turis asing yang terbanyak masuk ke Singapore adalah Malaysia dan Indonesia yang umumnya Muslim. Padahal, katanya, negara-negara itu tidak ada membuat wisata halal.

“Turis dari Timur Tengah sekarang banyak sekali ke Thailand, Singapore, dan Filipina. Entah apa sebabnya turis Arab berbondong bondong ke Thailand, Singapura, dan Filipina. Padahal tidak ada konsep wisata halal disana. Kenapa mereka tidak pergi berbondong bondong ke Aceh dan Sumatera Barat?” tanya JBC IMTGT (Joint Business Council – IMTGT) ini.

Disampaikan dia lagi, bahwa turis Arab juga sudah rutin mengunjungi Inggris. “Bahkan masyarakat golongan menengah dan atas dari Timur Tengah, umumnya punya ‘second home’ di Inggris, yang sama sekali tidak mengenal istilah wisata halal. Entah apa mereka suka di Inggris,” imbuh Raya.

Memang, kata Raya Timbul, banyak juga dijumpai orang dari Timur Tengah/Arab tinggal di daerah Puncak serta punya ‘second home’. “Entah apa pula yang membuat mereka tertarik tinggal di Puncak Cisarua. Saya kira sudah banyak yang tahu. Orang Arab juga sangat banyak dijumpai di Hotel Grand Central Jakarta dan Hotel John Pardede di Jakarta. Bisa juga dicek apa hobby para turis Arab ini,” lanjutnya.

Pahami Keinginan Turis

Sehingga, katanya, menjadi wajar, ketika masyarakat kawasan Danau Toba kemudian bertanya-tanya, ada apa di balik gagasan wisata halal di daerah itu. Bahkan, kata dia, gagasan itu bisa malah dituding sebagai upaya ‘pembodohan’ atau punya agenda tertentu.

“Faktanya jelas, Bali dan beberapa kawasan di dunia sangat, sangat maju wisatanya tanpa label halal. Dan hebatnya, yang banyak menghabiskan uang disana adalah, turis asal Timur Tengah, juga asal Malaysia, yang mayoritas Muslim. Lalu apa maksud dan tujuan, atau ada agenda apa, sehingga harus ada konsep wisata halal di Danau Toba?” sebutnya.

Untuk itu, katanya, pemerintah mestinya harus lebih memahami apa keinginan turis, kalau ingin pariwisata maju. Bukan malah membuat konsep yang tak ada hubungan dengan pariwisata. “Marilah kita mendalami potensi wisata daerah dan apa keinginan para turis. Banyak berjalan banyak dilihat. Banyak diskusi banyak mengerti. Banyak membaca banyak yang tidak tahu,” tutup Raya Timbul Manurung, yang juga Committe Member Mittas (Malaysia indonesia Thailand Tourist Association) ini.

reporter | Jeremi Taran

Related posts

Leave a Comment