Pengamat: Golput Rawan Terjadi pada Milenial

kaum milenial

topmetro.news – Pengamat Komunikasi Politik Silvanus Alvin melihat kalangan ‘die hard’ atau pemilih loyal Paslon Nomor Urut 01 Jokowi – Ma’ruf Amin dan Paslon Nomor Urut 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno datang dari generasi ‘baby boomers’. Secara otomatis mereka akan menggunakan hak pilihnya. Ada pun yang rentan untuk tidak memilih adalah kaum milenial.

Kaum milenial ini jumlahnya cukup signifikan mencapai 35 persen dari total jumlah pemilih‎.

“Survei tentang preferensi politik kaum milenial yang dilakukan oleh Jajak Pendapat App tahun 2015 memaparkan bahwa kaum milenial begitu apatis terhadap politik di Indonesia. Sebesar 99 persen milenial Indonesia tidak tergabung dalam partai politik. Dan 87 persen menyatakan tidak tertarik bergabung dengan partai tertentu. Bahkan, 63 persen milenial enggan mengikuti perkembangan isu-isu maupun berita politik teranyar,” kata Alvin, di Jakarta, Rabu (20/3/2019).

BACA JUGA | 60 Persen Milenial Diyakini Pilih Jokowi-KH Ma’ruf

Antipati Kaum Milenial

Ia menjelaskan, ‎ada semacam antipati dari kaum milenial terhadap politik. Hal ini bukan tanpa sebab karena diksi ‘politik’ memiliki konotasi negatif seperti membosankan, kotor, dan korup. Pemaknaan tersebut adalah akibat para oknum politisi yang lalai dalam menjalankan tugas serta fungsinya. Apalagi baru saja Ketum PPP Romi kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK.

Menurut pengajar komunikasi politik dari Universitas Bunda Mulia (UBM) Jakarta ini, pendekatan ke kaum milenial harus unik. Tidak bisa cara-cara lama dipakai ke mereka supaya mereka tidak golput. Harus ada ‘gimmick digital’ yang zaman now. Misalnya setelah gunakan hak pilih, upload gaya seru pasca coblos ke media sosial, lantas foto terkeren dapat hadiah.

Bisa juga KPU kerja sama dengan sejumlah tennant di F&B buat gimmick memberikan diskon kepada individu yang sudah gunakan hak pilih. Atau TPS jangan kesannya sendu. Tapi dihias secara meriah layaknya konser sehingga mengundang dan menarik untuk didatangi milenial.

“Cara-cara milenial seperti ini yang harus digunakan,” tutur Alvin.

Dia menegaskan‎, memang perlu penjelasan politik betapa pentingnya untuk memilih atau tidak golput. Mereka yang golput sejatinya memberikan kesan tidak peduli dengan apa yang terjadi di bangsa ini. Dengan demikian, siapa pun yang menang dalam Pilpres dan anggota dewan terpilih dalam pileg harusnya didukung penuh untuk masa jabatan lima tahun oleh para golput. Hak untuk mengkritik dan protes tidak selayaknya mereka suarakan ketika pemimpin yang terpilih nanti tidak mereka sukai, karena sudah tak memilih saat Pemilu.

“Intinya, jangan menyesal bila nanti yang terpilih, bukanlah yang terbaik,” tegas Alvin.

Dia menjelaskan‎ golput awalnya terjadi pada zaman Orde Baru. Kala itu saat pemilu sudah ketahuan siapa pemenangnya. Golput menjadi wadah sekaligus sarana untuk menunjukkan rasa tidak suka pada rezim otoriter tersebut.

Contoh Dampak Golput

Namun, golput sekarang sudah berubah. Golput dilakukan karena bentuk keacuhan individu. Sebagai contoh ‎negara tetanga, Filipina. Dengan hanya 39 persen suara, Rodrigo Duterte sukses menjadi Presiden Filipina.

Terpilihnya Duterte mengubah tatanan sosial politik di negara itu. Di sana kebebasan pers terpuruk dan banyak sekali praktik melanggar HAM. Hal ini terjadi, karena golputnya masyarakat filipina.

Contoh lain adalah dalam Pemilu Amerika, Presiden Donald Trump bisa terpilih dan membuat kontroversi sejak 2016. Hal ini juga dipicu dari perilaku golput para warga US liberal yang enggan memilih Hilarry Clinton.

“Khusus untuk Pilpres Indonesia, ada dua pilihan pasangan kandidat yang bertarung. Situasi ini memang tidak baik karena tercipta polarisasi di masyarakat. Memilih harus dilakukan. Karena dengan memilih, kita membantu diri sendiri agar tidak mengalami nasib yang sama seperti di Filipina dan Amerika,” tutup Alvin.

sumber | beritasatu.com

Related posts

Leave a Comment